SEEKING THE TRUE MEANINGS OF PATIENT AND SURRENDER

      


        Orang-orang sering banget bilang ke gue, "sabar, pasti ada waktunya, sabar aja pasti ada jalannya". Dulu-dulu gue selalu anggap ini bullshit. Ga bisa diterapkan. Siapa yang bisa sabar di saat semua lini kehidupan menuntut individu menjadi orang-orang dengan pergerakan cepat. Bukan hanya kecepatan dalam bergerak dalam berkegiatan, namun juga dalam pencapaian hidup. Zaman serba modern memungkinkan manusia untuk memperlihatkan sisi kehidupannya di jejaring maya. Peliknya, kebanyakan yang dipilih untuk ditampilkan ialah sisi yang bagus-bagusnya aja. 

        Kenapa hal itu bisa terjadi? Ya, karena emang ga ada orang yang mau menampilkan hal-hal yang ga enak dipandang mata, peristiwa menakutkan, atau menyedihkan. Itu semua sah-sah aja, ga salah. Itu merupakan hak individu. Tetapi, interpretasi publik juga pasti berbeda-beda bergantung sudut pandangnya. Waktu remaja yang terkenal dengan sifat labilnya, gue termasuk orang yang belum punya penilaian dan pemikiran yang kompleks terhadap dunia maya.

      Ketika gue ngeliat orang selalu share hal-hal yang membahagiakan, gue selalu menanyakan kehidupan gue. "Kenapa ya, orang tuh bahagia banget hidupnya? Kok gue begini amat ya, susah terus. Kerjaan gue gini-gini doang lagi". Terus-terusan pertanyaan itu berputar kaya kaset dengan benang kusut di kepala gue. Ngeluh terus, tanpa pernah melihat hal-hal baik yang terjadi selama hidup. Menanggapi pernyataan gue itu, orang-orang di sekitar gue selalu mengandalkan kalimat "sabar aja, jalani aja, pasti bisa, semua ada waktunya". 

        Bagi gue kalimat-kalimat kaya gitu adalah pernyataan penghiburan yang sometimes, diucapkan karena lawan bicara tidak tahu atau tidak ingin menanggapi lebih dalam. Alhasil gue selalu menyepelekan makna sebenarnya dari kalimat ini. Suatu ketika, ada satu kondisi dimana gue memang udah ga bisa mengandalkan kemampuan dan kekuatan diri gue sendiri. Semua upaya yang terbaik udah gue lakukan sesuai kapasitas gue. Tapi entah kenapa hasil-nya jauh dari yang gue harapkan jika dibandingin sama usaha gue tadi. 

        Merenung dan melakukan introspeksi sudah pasti gue lakukan. Sambil berdiam diri, ditemani ice lemon tea dan roti coklat keju favorit, gue menanyakan hal ini. "Apa ini saatnya gue berserah dan sabar aja? Toh semua usaha yang sesuai koridor udah gue lakuin". Ga ada salahnya sih sabar dan berserah. Mungkin ini cara Tuhan buat gue sadar, kalau gue gabisa mengandalkan kekuatan gue sendiri. Bukan sok spiritual dan rohani sih, tapi kebetulan agama yang gue percaya dan yakini memang mengajarkan hal demikian.

      "Janganlah mengandalkan kekuatan-mu sendiri tetapi bersandarlah pada rancangan-Ku, sebab rancangan-Ku ialah raancangan damai sejahtera bukan rancangan kecelakaan." Gue pernah baca ayat Alkitab ini, tapi lupa gimana uraian persis kalimatnya. Kalau yang baca tahu gimana kalimat persis dan letaknya dimana, boleh comment ya. Dalam artian ini, gue menganggap sabar itu, ialah kemampuan manusia untuk menahan diri demi mencapai sesuatu yang lebih besar diiringi dengan usaha yang mumpuni dan bukan asal-asalan. Sedangkan berserah, gue artikan sebagai kegiatan aktif yaitu menyerahkan sepenuhnya hasil dari pekerjaan dan usaha yang mumpuni tadi kepada Tuhan yang memiliki kuasa dalam menentukan. 

        Gue kurang setuju sih kalau ada yang melakukan sabar dan berserah ini sebagai kegiatan pasif. Biasanya, individu kaya gini ngerasa udah melakukan hal yang luar biasa, padahal engga dan mengharapkan feedback yang bagus. Lalu dengan gampangnya nyeletuk 'ya, mungkin kurang sabara dan kurang berserah". Seolah-olah yang salah Tuhan. Dari berbagai pengalaman yang telah berlalu, gue semakin diarjarkan untuk cerdik dalam menilai berbagai situasi hidup. Ceilah, serius amat. Engga bukan gitu, tapi salah satu kelebihan manusia karena punya akal budi. Menurut gue, akal budi bukan cuma teori doang ya, tapi memaknai kalimat dan melaksanakannya butuh pertimbangan situasi dan kondisi. Maksudnya, gue ga bisa memutuskan untuk 'berserah' ketika gue ga melakukan hal yang maksimal. Kalau kata filsuf Aristoteles, "everything happens for a reason." Ada sebab yang mengakibatkan suatu dampak. Namun tetap rendah hati untuk menyerahkan segalanya kepada Pencipta, setidaknya ketika masih memeluk sebuah keyakinan. 

Salam hangat,

Penulis

           

Comments