The Perk and Peak of Writing Bachelor Thesis in Covid-19 Era ver.2






Di tengah-tengah ketidakpastian, gue sempat mengalami self confident crisis atau menipisnya kepercayaan diri. Awalnya gue yakin pasti bisa lulus semester ini, tapi perlahan-lahan gue mulai pesimis. Bahkan gue udah sempat nanya2 gimana kalau gue skripsian di semester depanartinya gue lulus 4,5 tahun.Waktu itu, di saat itu, pilihan itu sangat mungkin terjadi mengingat teman2 gue di kampuslain juga mentolerir perpanjangan waktu skripsi.

Tapi, gue ingat orangtua gue. Mereka pengen banget gue segera lulus. Lulus di semester ini karna satu dan lain hal. Gue ga sanggup lihat kekecewaan di wajah mereka. Pas gue nanya2 sama teman2 seangkatan, ternyata mereka sebagian besar optimis untuk menyelesaikan skripsi di semester ini. Karena gue orangnya gabisa ditantang wkwkkwk, maksudnnya gue gabisa terima kalau teman2 gue bisa lulus dan gue engga padahal kondisi kita sama2 sulitnya. Itulah yang mendorong gue buat memaksakan dan memampukan diri. Bisa gak bisa harus bisa.

Ternyata motivasi semata tidak membawa keadaan menjadi lebih baik. Kalau kalian belum tau, untuk melaksanakan penelitian yang berbasis kesehatan masyarakat maupun klinis diperlukan yang namanya 'kode etik' atau 'ethical approval'. Jadii, sebelum ujian proposal kami udah diwajibkan menentukan lokasi penelitian. Nah, gue udah menentukan lokasi penelitian si sebuah SMA Negeri di Jakarta Selatan supaya lebih cepat dalam pengurusan kode etiknya. 

Akhirnya setelah ujian proposal selesai, revisi dalam waktu seminggu, gue memutuskan mengajukan permohononan kode etik ke komisi etik penelitian kesehatan di kampus gue. Menunggu sebulan lebih, tanpa melakukan apa2 karena sebelum pengambilan data gue harus punya kode etik itu. Di rentang waktu yang sebulan lebih itu, ternyata pihak sekolah ternyata berubah pikiran dan tidak memberikan izin buat penelitian gue. Mereka beralasan bahwa waktu pelaksaanannya ga tepat karena para siswa masih dalam status PJJ (pembelajaran jarak jauh) yang mana tugas2 sekolahnya udah banyak. Jadi mereka gamau siswa keganggu sama penelitan gue.

Di satu sisi, pembimbing menyarankan gue untuk menunggu sampai kondisi pandemi menjadi lebih baik. Gue berpikir positif aja saat itu, mungkin covid-19 memang bisa segera berakhir mengingat tindakan preventif pemerintah cukup ketat di awal2 kasus. Dua minggu berlalu begitu aja, tiga bahkan sampai empat minggu gue masih ga ngapai2in. Di saat gue pasrah akan nasib perskripsian ini, ada E-mail masuk dari KEPK terkait kode etik gue yg udah di-review oleh satu orang reviewer. Lama bukan? Gue kira itu bakal jadi langkah yg membahagiakan. Gue SALAH BESAR. Kondisi pandemi semakin parah, sekolah masih ditutup, perizinan ga mungkin ada. Dengan berat hati, pembimbing pun menyarankan untuk mengubah lokasi penelitian menjadi di kelurahan tempat gue tinggal aja. 

Asli disitu gue, bingung, marah, kesal. Menyalahkan keadaan. Tapi, ga ada yg bisa disalahkan buat kejadian ini.  Ga mudah sama sekali. Waktu tunggu yg bisa dibilang ga sebentar, perubahan yg mendadak, dan kondisi yg membuat manusia terikat di rumah dalam waktu yg lama cukup membuat kekesalan semakin memuncak. Perlu waktu untuk berpikir, apakah bisa melanjutkan? Dilema. Akankah motivasi mengalahkan realita atau sebaliknya?

#Lanjut part 3

Comments