Phenomenon of Misdirected Study Field

    

    Fenomena salah jurusan kerap kali menghampiri para mahasiswa ataupun lulusan yang sedang mencari minat dan bakatnya. Frasa salah jurusan acapkali dikumandangkan ketika seseorang ngerasa bahwa apa yang dia ampu selama pendidikan tinggi ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi dan harapan. Mungkin aja, mata kuliahnya ga sinkron dengan minat/bakat, terlalu sulit untuk dimengerti, abstrak, bahkan mungkin ga ada hubungannya dengan realita hidup.

    Dulu ketika gue masih duduk di bangku pendidikan menengah atas, yang gue pikirin cuma gimana caranya gue bisa tembus perguruan tinggi negeri. Apapun caranya gue akan tempuh demi mencapai itu semua. Mulai dari bimbel dari senin sampe sabtu, ngerjain soal-soal sbmptn tiap hari sampai larut malam, bahkan sampai jam 3 pagi kalau di akhir minggu. 

    Gue menganggap jurusan itu ga terlalu penting, yang penting gengsi universitasnya. Ada salah satu univ yang gue pengen banget, karena gue suka lokasi dan letak geografisnya. Gue cuma mikirin gimana caranya gue bisa keluar dari rumah. Gue pengen banget hidup sendiri dari dulu. Ga bergantung sama siapapun even orangtua. Entah mengapa, fakta bahwa gue masih belum independen sangat memukul harga dan nilai diri gue, That's why gue berupaya sekeras itu untuk bisa keluar dari rumah. 

    Gue ditolak snmptn atau jalur prestasi oleh kampus itu, akhirnya gue memecut diri untuk bisa lolos di jalur ujian tulis. Menurunkan sedikit ego untuk memilih univ lain di pilihan pertama dengan jurusan yang dipilih secara random, dan entah kenapa waktu pengumuman, malah yang random itu yang lulus. I don't even know where the location of this university is, the credibility, learning system, and stuff laike that. Parahnya lagi, gue bahkan gatau jurusan yang gue pilih itu lulusannya bakal jadi apa. How fool I am. 

    Lately, setelah menjalani perkuliahan di dalamnya gue malah engga ngerasa salah jurusan, karena emang gue ngga tau apa bidang yang gue sukai bahkan di tengah-tengah masa perkuliahan. Tapi eh tapi, ternyata ada satu hal yang menjadi kesukaan gue ketika kuliah. Ngomong sama oran alias komunikasi. Sebagai mahasiswa yang dicemplungin langsung ke komunitas masyarakat, gue udah cukup sering interaksi dengan banyak orang yang bahkan gue gatau latar belakangnya gimana, budaya mereka gimana, atau bahkan hal-hal yang menarik minat dan perhatiannya. 

    Gue senang banget ternyata bantuin ngejelasin ke mereka gimana caranya supaya jaga kesehatan, milih makanan, ngejelasin ini fungsinya apa, itu fungsinya apa. Tantangannya ya banyak. Misalnya, mereka bosan atau ignore penjelasan gue. Bahkan juga mereka gatau apa yang gue omongin. Banyak deh. Gue disini juga belum punya wewenang atau jabatan dan hal itu kadang-kadang menjadi kendala buat gue. Namanya gue masih belajar dan cari ilmu ya kan, mereka mau gue ajak ngobrol aja udah syukur. Ga mungkinlah gue kaya maksa atau naikin intonasi suara. Takut salah paham. 

    Bukan hanya sampai disitu, sebagai mahasiswa gue selalu dituntut untuk punya basic public speaking. Sesimpel kemampuan presentasi dan menjelaskan materi dengan cerdas dan apik. Ga sedikit berdasarkan pengamatan gue, teman-teman kelas yang masih malu-malu buat ngomong atau utarain opini, atau mereka sebenarnya pintar cuma ya mungkin grogi jadi terkesan ga menguasai materi. Di sini, gue bukannya menganggap gue udah gimana banget. Tapi, sesuai analisis dan penglihatan yang gue alami dan lakukan, ketika gue mulai mengucapkan kalimat per kalimat, menjelaskan ide dan topik, merangkum materi, dan menyimpulkan, teman-tema gue selalu hening dan mnyimak dengan konsentrasi. Ga sedikit yang menanggapi dan mengajukan pendapat, jadinya diskusinya terbangun dan aktif. 

      Karena hal ini ga sekali doang terjadi, gue pun mulai menarik kesimpulan bahwa gue punya sesuatu yang unik dari gaya pembicaraan. Pernah suatu kali, gue nanya ke teman dekat untuk minta evaluasi terhadap gaya berbicara gue. Surprisingly, she loved my intonation and how I delivered the message. Dia bilang, gue bisa menarik perhatian orang-orang untuk fokus ke gue. And, Can You imagine how happy I am? I'm very very amaze. Ga nyangka banget, dan gue sempat ngira dia bohong atau bias gitu. Tapi, dia meyakinkan gue dengan pernyataan-pernyataan suportif lainnya. 

       Manusia emang ga pernah puas ya. Gue juga menanyakan hal yang sama ke teman gue yang lain. Kasusnya beda. Sebut aja namanya "Nina". Nina ini, orang nya cukup vokal di kelas. Banyak prestasi pula, jago debat, jago public speaking, dibuktikan dengan banyaknya kejuaraan yang dia ikutin. Suatu ketika, gue diajak dia buat lomba. Lomba debat pula. Gue sebenarnya bingung, ngapain dia ajak gue yang belum pernah menang lomba debat, emang sih gue pernah ikut lomba debat sebelumnya. Itu pun cuma sekali dan cuma sampai semifinal. Kocak ya. Dan, guess what was she said? Lo punya bakat kok, gue kan sering liat cara lo ngomong di kelas. Itu bisa dikembangkan. Oke-oke, artinya gue ga nge-klaim sendiri ya, kaya krim pemutih abal-abal. Long story short, We got the second place for the debate competition. 

       Sejak saat itu gue-pun kembali merenung. Kenapa ya gue ga nyadar hal ini dari dulu? Gausah dari dulu deh, dari zaman SMP aja setidaknya kalo gue udah aware, gue pasti bisa memaksimalkan kemampuan ini. Dari dulu yang gue tahu cuma ngerjain tugas, nyelesaiin deadline, pokoknya dapat nilai minimal 90 di semua bidang pelajaran. Ambisi gue cuma nilai dan nilai. Lingkungan gue mau itu rumah, keluarga, orangtua, bahkan sekolah pun mendukung hal kaya gitu terus terusan berlangsung. Menyesal udah pasti. Tapi pasti ga ada arti. Yang gue bisa usahakan ialah gimana gue mampu memaksimalkannya di sisa waktu yang ada. 

       Untungnya jurusan yang gue ambil pun mendukung hal itu meski yang substansialnya beda banget. Tapi dasar-dasar komunikasi dan cara ngomong yang enak adalah moda kunci selain ilmu pelajaran, karena mau gimana pintarnya juga kalau ga lancara berbahasa dan berdialektika, the message will not be conveyed properly. 

       Terus kembali ke pertanyaanya, apakah gue salah jurusan? Well I will answered "not really". Iya sih mungkin bidang studi yang gue ambil harusnya PR atau communication or FISIP but if I am not precessed by the field of nutrition, I don't even know my hidden talent. So yeah, this is my story. Sebenarnya juga, manusia itu kompleks, ga selamanya dia suka itu bakalan itu aja yang dijalanin selama hidup. Hidup kan dinamis dan ga stagnan, We must keep forward. Jadi, buat lo yang baca dan sedang dalam fase kebingungan, coba aja dikulik lebih dalam diri sendiri. Ambil waktu, buat komunikasi sama diri sendiri, buat daftar-daftar yang lo suka, kuasain, atau yang ga suka-suka banget tapi ada potensi untuk dicuanin. Gue bukan maksud untuk menggurui ya, tapi pengalaman-pengalaman inilah yang mendewasakan gue dan melalui tulisan gue lebih bisa menuliskannya dengan penuh detail. 

       Gue juga suka kalau ada pembaca yang ngasih point of view-nya di kolom komentar, supaya kita bisa sama-sama belajar jadi lebih baik. 

Salam hangat,

Penulis.

Comments